Tasbih TQN itu masih mengamit di tanganku. Dalam genggamanku dia berputar,
sehaluan dengan bait-bait nama Tuhan yang bertasbih dari bibirku. Bibir
kering yang terlalu lama tidak disirami air. Liurku juga telah kering,
bahkan sering sekali kerongkonganku terasa sakit. Panas membumbung
tinggi, matahari seperti sejengkal di atas ubun-ubun.
Tasbih TQN adalah tasbih yang unik, terukir dari biji-biji korma yang
telah dikeringkan. Korma adalah makanan yang disukai nabiku, aku
menjadikannya sebagai rosario sebagai bentuk cinta walau aku tetap
memakan gandum yang telah menjadi roti. Cuma sesekali aku memakan korma,
aku tidak begitu suka dengan sesuatu yang manis kecuali susu dengan
tambahan sedikit gula.
Tidak cuma biji korma. Aku juga menyimpan segenggam pasir dari tanah
yang pernah disinggahi oleh nabiku. Pasir itu kumasukkan ke dalam sebuah
kantung yang kukalungkan dileherku. Sesekali jika cintaku telah begitu
melangit maka aku berdiam sejenak, kutundukkan kepalaku ke tanah lantas
kantung pasir itu kuciumi. Aku seperti sedang menciumi kaki nabiku.
Aku cinta nabiku.
Guru sering bercerita, dulu. Dia pernah kata bahwa nabiku adalah
manusia suci, yang dosanya terampunkan dahulu, sekarang, dan masa akan
datang. Nabiku adalah pecinta Tuhan sejati. Walau Tuhan telah
mengampunkan segala dosa-dosanya, namun nabiku tidak langsung naik
kepala. Dia tetap tekun bercinta dengan Tuhannya. Saban malam
dikorbankan tidurnya demi Tuhannya. Pernah ditanya mengapa hal demikian
dia lakukan, dan engkau tahu jawabnya? “Tidak bolehlah aku menjadi hamba yang bersyukur?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar